Oleh: Arief Sosiawan
Pemimpin Redaksi
Minggu, 3 Maret 2019, politisi Partai Demokrat Andi Arief ditangkap polisi terkait narkoba. Bagi partai berlogo Mercy tempatnya bergabung tersebut, berita ini cukup mengagetkan.
Penangkapan wakil sekretaris jenderal (wasekjen) ini membuat gaduh dunia politik negara kita. Apalagi, hal itu terjadi ketika masyarakat sedang fokus pada persiapan pemilihan presiden.
Banyak komentar muncul. Ada yang percaya, ada yang tidak. Simpang siur, sampai akhirnya polisi mempublikasikan berita penangkapan Andi Arief. Hampir semua media memunculkan gambar Andi Arief sedang dikerangkeng di balik jeruji besi, yang menegaskan bahwa penangkapan politisi asal Lampung itu terbukti benar.
Polisi lantas dibuat sibuk. Antara lain memberi penjelasan lengkap dengan keterangan bahwa yang bersangkutan positif menggunakan sabu. Simpulan ini diambil setelah urinenya dites.
Drama sabu Andi Arief tak berhenti sampai di sini, ketika semuanya masih mengambang. Ini berlangsung sekitar sepekan. Ada yang menyatakan Andi Arief mengonsumsi sabu bersama kawannya. Seorang perempuan. Ada yang bilang sendirian. Ada pula yang bilang Andi Arief ditangkap terkait sindikat penjualan narkoba.
Tapi, setelah sepekan itu, seolah-olah semuanya menjadi jelas. Polisi menyatakan kasus sabu Andi Arief selesai dan diserahkan ke BNN (Badan Narkotika Nasional). Yang bersangkutan direhabilitasi karena Andi Arief dianggap sebagai korban.
Kepala Advokasi dan Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean bahkan menilai hal tersebut sudah sesuai aturan dan undang-undang. Apalagi, Andi Arief hanya menggunakan narkotika jenis sabu 0,1 gram.
Jika dibandingkan kejadian serupa di masyarakat, kasus ini sepertinya mendapat perlakuan berbeda. Istimewa. Banyak pengguna sabu dengan barang bukti di bawah 1 gram tapi tidak langsung direhabilitasi seperti Andi Arief. Mereka diproses di meja sidang pengadilan, bahkan akhirnya divonis bersalah dan harus meringkuk di penjara.
Contohnya di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Hakim FX Hanung, Kamis, 26 April 2018 lalu. Dia memvonis tiga anak di bawah umur yang tersandung narkoba: masing-masing dua tahun sembilan bulan penjara.
Ketiga anak ini ditangkap dengan barang bukti dua poket sabu masing-masing seberat 0,28 gram, yang diperoleh dari pemasok di Jalan Kunti. Harganya Rp 200 ribu seperti fakta di persidangan.
Ketiga terdakwa, AP (17), warga Jalan Petemon I; FDR (16), warga Jalan Kedung Anyar GangĀ 2; dan RFA (16), warga Jalan Kedungdoro Gang 9, tidak direhabilitasi. Ketiganya harus menjalani pidana pelatihan kerja di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak (LPKA) Blitar. Sebab, jaksa menjerat ketiganya dengan pasal 112 ayat (1) jo pasal 132 ayat (1) UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Beginikah wajah buram hukum negeri kita? (*)