Oleh: Arief Sosiawan
(Pemimpin Redaksi)
Pada era 1990-an di Indonesia ada satu film berjudul Wiro Sableng. Film bergenre action itu cukup memukau. Tokoh utama pemuda pandai silat yang berguru kepada perempuan aneh itu menggambarkan pendekar yang sableng (seperti gila) dengan lebel 212. Film ini menyuguhkan keseruan, meski beberapa adegannya terkesan lucu.
Sang pendekar memakai atribut baju warna putih dan pengikat kepala warna hitam. Gurunya digambarkan seorang perempuan tua dengan atribut baju hitam dengan rambut beruban.
Adegan-adegan yang diperankan kedua tokoh sentral di film itu selalu membela orang benar. Membela kelompok yang tidak bersalah. Membela kepentingan kaum lemah dari kaum angkara murka. Pesan moral di film itu terlihat jelas: ada yang disenangkan, ada pula yang dibuat tak berdaya. Bahkan, ada yang tampak digdaya.
Film itu mulai memudar seiring kemajuan teknologi dan perfilman nasional maupun internasional. Film-film Indonesia yang lahir sesudahnya lebih maju dan elegan.
Kini di era 2018, di negara kita ada gerakan massa yang juga berlebel 212. Meski gerakan ini bukan film, pergerakan dan langkah-langkah serta pesan-pesan yang dikirimnya mirip seperti film Wiro Sableng hingga jadi tontonan menarik. Ada tokoh utamanya, ada tokoh pendukungnya, ada juga tokoh figuran yang cukup memiliki peran.
Gerakan 212 ini seakan juga membela orang benar, membela orang tidak bersalah, dan membela kepentingan kaum lemah dari kaum angkara murka. Sehingga, banyak yang senang. Banyak juga yang peduli. Tapi, tak sedikit juga orang atau pihak yang gemas dan tidak suka terhadap gerakan ini.
Mereka yang tidak senang menganggap gerakan massa ini ditunggangi kepentingan politik dari golongan tertentu. Bahkan, ada yang curiga gerakan 212 itu gerakan politik dan makar karena dianggap mendiskreditkan pemerintahan yang dipimpin Joko Widodo (Jokowi).
Pihak yang tidak suka terhadap gerakan 212 menganggap gerakan ini jadi tunggangan politik salah satu calon presiden. Tepatnya pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Sebab, adanya #2019GantiPresiden dianggap sebagai langkah strategis gerakan 212, karena letupan awalnya berasal dari partai pendukung pasangan capres-cawapres Prabowo-Sandiaga. Sehingga, mereka (yang tidak suka) berpikir gerakan ini harus dihalangi, dibubarkan, dan dihancurkan.
Tapi tidak dengan mereka yang senang. Mereka menilai gerakan massa ini pantas didukung dan diperjuangkan. Sebab, tujuan berdirinya gerakan 212 tidaklah untuk dukung mendukung pada salah satu pasangan capres-cawapres.
Tak hanya itu, gerakan massa 212 yang kemarin (Minggu/2/12) menggelar reuni di Monas, Jakarta, mampu membuktikan jika gerakan mereka tidak makar, tidak pula gerakan politik hingga Bawaslu DKI turun langsung memantau di Monas dan menyatakan tak ditemukan adanya pelanggaran kampanye meski Prabowo Subianto hadir di acara tersebut.
Jelas sudah, gerakan massa 212 itu mirip dengan film Wiro Sableng 212. Sebab, faktanya jadi tontonan menarik karena ada pihak yang disenangkan, ada pula yang dibuat tak berdaya. Bahkan ada yang nampak digdaya. Apalagi kehadiran Prabowo Subianto dengan pengawasan ketat di reuni 212 itu jadi hal terlucu dari kondisi politik nasional saat ini.(*)