Rusuh di Stadion Kanjuruhan, Malang, usai laga Arema FC versus Persebaya dengan hasil akhir 2-3 untuk kemenangan Persebaya, Sabtu (1/10/2022), harus dibayar mahal. Semahal-mahalnya. Tak bisa diukur dengan materiil apa pun dan bahkan tak terhingga nilainya.
Di lapangan, kerusuhan terjadi begitu peluit panjang dibunyikan wasit, suporter Malang yang akrab disebut Aremania merangsek masuk ke lapangan melampiaskan kekesalan akibat tim kebanggaan kera Ngalam menelan pil pahit kekalahan. Apalagi kalahnya saat menghadapi tim bebuyutan, Persebaya.
Kejadian itu memicu aparat keamanan bertindak tegas hingga mengeluarkan “senjata pamungkas” berupa gas air mata dengan tujuan menghentikan kerusuhan dan mengurai kerumunan. Tapi terjadi sebaliknya, tindakan kepolisian yang menurut regulasi FIFA (Federation International de Football Association) tidak diperkenankan menggunakan gas air mata, membuat berjatuhan satu demi satu manusia-manusia pencinta sepak bola tak berdosa. Mereka bergelimpangan menahan rasa sakit tak terkira hingga ajal menjemput mereka. Wow…
Tercatat 127 orang meninggal dunia dan 180 orang dirawat seperti kata Kapolda Jawa Timur Irjenpol Nico Afinta dalam jumpa pers beberapa jam usai kejadian.
Catatan itu tidak berhenti. Kabar terakhir, Minggu (2/10), Dinas Kesehatan Kota Malang merilis korban tewas 182 orang di hari kelam itu. Di antara mereka ada balita (bayi di bawah lima tahun), remaja, ada pula anggota polisi. Miris!
Kerusuhan berubah menjadi tragedi buruk bahkan terburuk dalam sejarah persepakbolaan dunia. Korban tewas di Stadion Kanjuruhan, Malang, menjadi terbesar kedua setelah rusuh sepak bola di negara Peru pada 24 Mei 1964 dengan jumlah 328 orang tewas ketika timnas Peru menghadapi timnas Argentina di sebuah laga berlangsung di Estadio National di Lima, Peru.
Prihatin belum menjadi kata yang cukup untuk menggambarkan tragedi di Malang. Sedih pasti, apalagi menghitung korban tewas seakan gak percaya itu terjadi. Kenapa? karena suporter Arema selama ini sangat dikenal sebagai suporter yang atraktif, sopan, dan tidak anarkis hingga kerusuhan di Malang bagi Memorandum adalah “Tragedi Kanjuruhan 11022”. Artinya kesedihan akibat kejadian kelam di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022.
Lantas siapa yang harus disalahkan dan diminta pertanggungjawaban pada kejadian ini? Harus sabar! Tak elok kalau kita buru-buru mencari siapa yang salah, siapa yang bertanggungjawab. Pun tak perlu ramai-ramai bersuara lantang mencari kambing hitam atas kejadian itu. Yang pasti, ada pemicu di kerusuhan Kanjuruhan! Ada korban yang tidak akan bisa dikembalikan hidup lagi. Jadi serahkan semua kepada tim pencari fakta (TPF) yang dibentuk oleh negara. Ibarat kata negara harus hadir di tragedi ini.
Meski begitu sembari menunggu hasil kerja TPF, kita pikirkan solusi terbaik agar tragedi Kanjuruhan kali ini tak terulang dan persepakbolaan nasional masih tetap ada dan bergeliat. Mengingat sepakbola adalah olahraga paling digemari di dunia. Misalnya seperti masih diperbolehkannya ada pertandingan sepakbola di Indonesia tapi tidak boleh ada penonton, memperbaiki sistem pengelolaan manajemen tidak lagi primitif seperti yang selama ini dilakukan oleh klub-klub sepakbola Indonesia yang suka-suka mengklaim profesional. (*)