Jaminan yang Tak Berfungsi Menjamin

oleh -256 Dilihat

Jaminan Hari Tua (JHT) alias “Jahat” kini ramai dibicarakan orang. Semua kalangan mempersoalkan. Terutama dan paling keras menyuarakan adalah kalangan buruh. Mereka semua protes atas perubahan penerapan Permenaker RI No 2 Tahun 2022 tepatnya pada pasal 3.

Permenaker itu berbunyi; Manfaat JHT bagi peserta yang mencapai usia pensiun sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, diberikan kepada peserta pada saat mencapai usia 56 (lima puluh enam) tahun.

Kaum buruh pun tegas, berani menyurati Presiden RI Joko Widodo. Mereka keberatan atas pemberlakuan permenaker ini. Kata mereka persaoalan JHT sudah diatur dalam undang-undang (UU) Ketenagakerjaan sehingga derajat kekuatannya lebih tinggi dibanding permenaker. UU tak boleh dikalahkan oleh permenaker.
Tak cukup menyurati saja, kaum buruh pun berdemo dan meminta Presiden Joko Widodo mencopot Menteri Tenaga Kerja RI yang dianggap tidak mampu bekerja.

Dalam berbagai literasi, menurut PP No. 46 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Program Hari Tua, JHT adalah manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap. Program ini menjadi pengganti terputusnya penghasilan tenaga kerja karena meninggal, cacat, atau hari tua. Jadi, dana pemilik masih terjamin dengan mengikuti program yang satu ini.

JHT menggunakan sistem tabungan pensiun yang bersifat wajib. Sehingga perlu melakukan iuran setiap bulan. Biasanya, perusahaan secara otomatis menggunakan gaji bulanan karyawan untuk membayar iuran program JHT.

Nah, pada awal 2022 ini menjadi ramai dan mencekam kalangan karyawan alias buruh setelah aturan terkait pencairan dana JHT mengalami sedikit perubahan. Perubahan ini tertuang dalam Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua yang resmi diteken Menaker Ida Fauziyah pada tanggal 2 Februari 2022 silam.

Buruh marah. Buruh menilai pencairan dana JHT setelah usia mencapai 56 tahun tidak masuk akal. Bisa diartikan pengerdilan hak. Apalagi bagi buruh yang ketika meninggalkan perusahaan tempat bekerja masih jauh dari usia 56 tahun. Sebut saja ada buruh ketika melepaskan diri dari perusahaan (baca: pensiun dini) usia 46 tahun, maka sepuluh tahun kemudian baru bisa dicairkan dana pensiunnya. Jelas ini merugikan.

Kenapa merugikan, bagi buruh dana JHT adalah dana pribadi sang buruh. Secara logika memang demikian. Dana JHT itu dibayar dari gaji buruh ketika masih bekerja di perusahaan sehinga sewaktu-waktu dapat dicairkan ketika sang buruh melepas statusnya dari karyawan perusahaan tempat bekerja.

Artinya, pencairan dana JHT alias “jahat” tidak tergantung kepada siapa pun termasuk pemerintah. Namun muncul pertanyaan, kalau buruh menganggap itu sebagai sebuah kebenaran, maka regulasi yang di atur pemerintah atau negara baik lewat UU atau permenaker apa gunanya?

Jadi, agar “jahat” nya tidak makin jahat maka perlu ada pemikiran tambahan bagi pemerintah untuk dibuatkan regulasi baru yang menyelaraskan kebutuhan rakyat. Apalagi antara JHT dengan jaminan pensiun itu beda makna meski keduanya sama-sama berfungsi untuk menjamin keamanan finansial di hari tua yang merupakan program unggulan BPJS Ketenagakerjaan.(*)

 

 

 

Visited 1 times, 1 visit(s) today

No More Posts Available.

No more pages to load.