Oleh Arief Sosiawan
Pemimpin Redaksi
Sepertinya Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menilai warga Jawa Timur menggemaskan. Tecermin dari keprihatinan dirinya, memaksa presiden sah pilihan rakyat ini menyatakan memberi waktu dua minggu kepada pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk bekerja lebih keras lagi agar ada penurunan orang terpapar Covid-19 dari angka yang kini ada.
Juga, dari pernyataannya, presiden terpilih dua periode itu melihat lemahnya koordinasi antarunit organisasi yang ada seperti gugus tugas penanganan percepatan (GTPP) Covid-19 provinsi, kabupaten/kota hingga petugas di desa dan kampung.
Tak hanya itu, kawasan Surabaya Raya meliputi Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten Gresik, yang sudah melakukan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) dan sempat diwarnai percikan pertikaian antara Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, pelaksanaannya dikesankan gagal. Terbukti orang terpapar Covid-19 di Jawa Timur masih sangat tinggi.
Berdasarkan data GTPP Covid-19 Jatim hingga Rabu (24/6), total kasus terkonfirmasi positif di Kota Surabaya mencapai 4.962 orang. Pasien sembuh 1.838 orang dan kasus meninggal 369 orang.
Kemudian, di Kabupaten Gresik, kasus terkonfirmasi positifnya 534 orang, pasien sembuh 77 orang, dan kasus meninggal 55 orang.
Berikutnya di Kabupaten Sidoarjo kasus terkonfirmasi positifnya 1.287 orang, pasien sembuh 207 orang, dan kasus meninggal dunia 97 orang.
Alhasil, ketiga daerah ini harus menjadi daerah yang dikendalikan terlebih dahulu.
Nah, kini pertanyaannya jelas dan tegas. Pertama, layakkah seorang presiden memberi tenggat waktu dua minggu agar pemerintah di bawah kekuasannya bekerja lebih giat agar bisa menekan korban pandemi Covid-19?
Kedua, apa tidak salah hanya dengan dua minggu bisa menurunkan jumlah orang yang terpapar Covid-19, sementara vaksin virus penyembuh atau penangkalnya hingga kini belum ditemukan?
Ketiga, apakah semua warga Jawa Timur dianggap bandel hingga “tuduhannya” kini menjadi daerah atau provinsi dengan penyebaran virus corona tertinggi di Indonesia?
Keempat, jadi sedikit meragukan soal Covid-19 di provinsi ini mengingat seluruh upaya keras sudah dilakukan tapi masih tetap dilebeli sebagai provinsi yang wajib diberi perhatian lebih hingga harus diberi tenggat waktu dua minggu untuk menekan angka penyebaran virus corona?
Menjawab berbagai pertanyaan ini, rasanya bukan lagi ranah pemerintah Provinsi Jawa Timur dan pemerintah kota dan kabupaten di wilayah ini. Semua harus dikembalikan lagi kepada masyarakat Jawa Timur, apakah semuanya sudah merasa berbuat banyak untuk ikut menekan dan berperan aktif ikut memutus mata rantai penyebaran virus corona.
Sebab, di depan mata kepala sehari-hari masih terlihat banyak warga Jawa Timur yang tidak peduli terhadap virus corona. Terbukti mereka banyak terlihat tidak mau memakai masker, masih banyak yang nongkrong di warung-warung kopi, masih ada saja orang yang ngadem di mal-mal mewah di Kota Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik.
Dan, mereka pada sepekan terakhir menganggap virus corona sudah gak ada lagi karena PSBB sudah tidak dilakukan lagi di kota dan kabupaten di Provinsi Jawa Timur ini.
Bisa juga pertanyaannya dibalik: tidakkah pemerintah yang salah, baik pusat maupun daerah, yang selalu berubah-ubah mengeluarkan kebijakan? Bukankah wajar bila rakyat akhirnya bingung dan apatis?(*)