Kasus pembunuhan berencana yang dilakukan mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo terhadap Brigadir J, sang ajudan, tinggal menunggu babak akhir. Perjalanan kasus ini banyak keruwetan, ujungnya tampak terurai dengan baik, cermat, dan sesuai koridor hukum yang berlaku.
Tapi apa betul begitu? Apa tidak ada perlawanan dari pihak Sambo? Apa Sambo dan kelompoknya pasrah diam menunggu nasib? Ataukah justru berbalik hukum malah meringankan mereka?
Ketika berbagai pertanyaan ini muncul di masyarakat, eh… di negeri tercinta ini mencuat persoalan bangsa yang lain. Gak ada hujan gak ada angin, anggota DPR RI Komisi I Effendi Simbolon dari Fraksi PDI-P dalam sebuah rapat dengar pendapat (RDP) bersama Panglima TNI Andhika Perkasa membuat kegaduhan dengan mengatakan TNI seperti gerombolan hingga langsung disikapi keras oleh beberapa anggota TNI bahkan lebih ke ancaman.
Kasus ini akhirnya kelar dan tuntas setelah Effendi Simbolon meminta maaf secara terbuka kepada TNI. Permintaan maaf ini membuat gaduh seputar “istilah gerombolan” berakhir dengan damai tanpa dampak hukum apa pun.
Ini beda banget dengan beberapa kegaduhan lain seperti dibuat oleh Edy Mulyadi, seseorang yang mengaku wartawan, dengan lontaran kalimat “tempat buang jin”, kemudian mantan Menpora RI Roy Suryo yang kesandung kasus wajah Presiden Jokowi dalam bentuk patung. Meski kedua orang ini juga meminta maaf, kasusnya tetap bergulir di ranah hukum dan harus mengikuti langkah dalam bentuk penahanan hingga persidangan.
Ketenangan negeri ini pun terkoyak kembali. Tiba-tiba ada Bjorka, sosok menghebohkan itu mampu “menggoyang” negeri dengan keberanian membongkar data pribadi siapa pun termasuk para pejabat tinggi negeri ini. Bahkan pejabat pejabat di dunia ini mampu dia bongkar keburukan-keburukannya.
Tak hanya itu, kemunculan Bjorka memaksa masyakarat terbelah. Ada yang menyebut Bjorka adalah pahlawan, tak sedikit pula menilai Bjorka adalah penjahat paling jahat di negeri ini yang harus ditangkap dan diproses hukum karena negeri ini negara hukum.
Persoalan Bjorka belum selesai, tiba-tiba Presiden Joko Widodo boleh menjabat atau dipilih menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia di periode mendatang mencuat dengan deras mewarnai pemberitaan di negeri “kolam susu” ini.
Ibarat kata, berita ini menyiratkan kalau sebagian besar rakyat Indonesia masih sangat ingin dipimpin Joko Widodo kembali. Masih sangat sayang dengan Joko Widodo. Masih mengatakan dipimpin Joko Widodo Indonesia sangat keren, dan Indonesia sangat berkemajuan hingga membuat Partai Demokrat lewat Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) “geleng-geleng kepala” sambil menyoal pemerintahan kali ini sejatinya hanya bekerja sebagai tukang gunting pita belaka.
Padahal di tengah semua itu (kegaduhan), fakta dan nyata rakyat negeri harus memikul beban besar yaitu “menikmati” kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang kini terus dan terus disuarakan rakyat untuk ditolak akibat kebijakan yang menyulitkan.
Nah… merasakan negeri ini, boleh dibilang “bak negeri dongeng” melihat semua kejadian di pemerintahan era ini. Apalagi soal harga BBM, pastinya tak akan munngkin diturunkan dengan berbagai alasan apa pun.(*)