Pemilihan presiden negeri ini berlangsung tahun depan. Tapi panasnya persaingan sudah mulai terasa di pekan-pekan terakhir. Mulai dari partai politik yang terang benderang melangkah pasti mendeklarasikan seorang calon presiden (meski belum memenuhi presidential threshold) sampai gerakan malu-malu ragu yang boleh dibilang hanya gerakan sesumbar belaka.
Tak hanya itu, memanasnya suhu politik Indonesia juga diwarnai manuver berbagai relawan. Ada yang menyebut diri GP Mania (Ganjar Pranowo Mania), relawan Sahabat Ganjar, ada juga berani membulatkan tekad sebagai relawan Prabowo Subianto, relawan Cak Imin (Muhaimin Iskandar), relawan pendukung Anies Baswedan, dan lain-lain.
Semua itu bak banteng ketaton. Terbukti, mereka mati-matian lantang menyuarakan calon dukungannya bila seorang sosok yang sangat layak ditampilkan sebagai calon presiden dan wakil presiden untuk dipilih menjadi presiden dan wakilnya.
Mereka semua rata-rata mengesankan kalau calon-calon yang diusulkan berkualitas, mumpuni, berprestasi, visioner, berkeadilan dan lain-lain. Secara total, penilaian terhadap nama-nama calon yang sudah muncul di “permukaan” perpolitikan nasional bernilai kapabel dan menonjol.
Siapa pun tahu nama Prabowo Subianto. Siapa pun kenal nama Anies Baswedan, Ganjar Prabowo, Muhaimin Iskandar, Ridwan Kamil, Puan Maharani, Agus Harimurti Yudhoyono. Belum lagi Airlangga Hartarto, Sandiaga Uno, Khofifah Indar Parawansa, rakyat tak asing terhadap nama-nama itu. Mereka semua boleh dibilang sangat kapabel dan berkualitas untuk ukuran posisi masing-masing saat ini.
Menggelitik dalam pemikiran, apa nama-nama itu sudah cocok untuk jadi presiden? Jadi calon wakil presiden? Tentu jawabannya tak semudah membalik tangan. Jawaban pasti sangat bergantung dari sreg atau tidak partai politik atau gabungan partai politik “menginginkan” mereka akibat sistem pemilihan presiden di negeri ini harus berdasarkan presidential threshold 20 persen.
Alhasil, meski nama-nama mereka ada di “permukaan” bisa jadi akan menguap begitu saja alias hilang tak berbekas bila tidak dilirik dan diingini partai politik yang ada. Sehingga, apa yang terjadi di pekan-pekan terakhir, memanasnya suhu politik negeri ini bak sebuah lelucon saja. Tak berlebihan bila dikatakan dagelan ala pemimpi-pemimpi negeri ini.
Tak cukup di situ, layak dipastikan sistem pemilihan presiden yang dipakai dalam demokrasi negeri ini tak lebih akal-akalan para pemimpi pemimpi itu yang “dikendalikan” oleh sebuah kekuatan gelap dimana kerap orang-orang katakan sebagai oligarki.
Nah, demi perubahan absolut negeri ini yang dicita-citakan ketika reformasi terjadi, keberanian mengubah sistem pemilihan presiden di negeri ini demi perubahan masa depan bangsa layak dikawal dan ditunggu.(*)