Surabaya, memorandum.co.id – Peristiwa mundurnya Presiden Soeharto 21 Mei 1998, menjadikan landasan berkumpulnya puluhan aktivis lintas generasi di Kota Surabaya untuk melakukan refleksi kritis terhadap perjalanan 25 tahun reformasi.
Perkumpulan Indonesia Muda (PIM) Jawa Timur, menggelar refleksi tersebut dalam tajuk dialog aktivis lintas generasi dari berbagai kota seIndonesia.
“Sejumlah tuntutan reformasi seperti pemberantasan korupsi, dan penegakkan keadilan hukum menjadi sorotan utama atas upaya pelurusan kembali jalan reformasi 98,” papar Aven Januar, Ketua Panitia saat ditemui di acara dialog aktivis lintas generasi, meluruskan jalan reformasi 1998 di Hotel Rock Surabaya.
Aven menjelaskan, bahwa dialog lintas generasi ini diikuti 67 aktivis yang datang dari beberapa kota se Indonesia, diantaranya dari Surabaya, Bojonegoro, Pasuruan, Sidoarjo, Wonosobo-Jateng, Bandung-Jabar dan Jakarta. Dan tentu para aktivis mahasiswa aktif dari berbagai kampus dari kota kota tersebut diatas.
Happy Kurniawan, aktivis petani yang berasal dari Wonosobo-Jawa Tengah, mengkritik banyak praktek ketidakadilan yang terjadi di dunia pertanian. Tidak tersedianya dengan cukup pupuk bersubsidi pada masa jelang tanam dan kebijakan impor produk pertanian jelang masa panen, yang menjadi masalah rutin yang terjadi setiap tahunnya.
“Dua kebijakan yang menekan petani tersebut telah berjalan bertahun tahun sejak reformasi 98 bergulir, dan itu membuktikan bahwa pemerintahan pasca reformasi belum sepenuhnya menjadi pemerintahan yang pro petani lokal, dan atau pro rakyat Indonesia,” papar Happy yang juga founder Nufid Nusantara Farm Dieng Indonesia.
Muhammad Sholeh, Aktivis PRD Jatim pada era 1998, pasca reformasi penegakkan hukum masih saja berkutat pada idioms, tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
“Hukum yang tidak ditegakkan sesuai asas keadilan, melahirkan kegagalan agenda reformasi 98, yang salah satunya penegakkan hukum seadil-adilnya, pemerintahan pasca reformasi justru melahirkan banyak konflik hukum, bahkan ada beberapa personal ataupun lembaga yang malah tidak bisa disentuh oleh proses hukum di Indonesia,” papar M Sholeh inisiator gerakan no viral no justice.
Wawan Leak, aktivis 80an dari Kota Surabaya, menyoroti banyaknya kegagalan proses demokratisasi pasca reformasi 98. Kebebasan pendirian partai politik justru melahirkan sistem liberalisasi politik. Para politisi diisi oleh para pemilik modal besar dan tidak cukup memiliki kompetensi dibidang politik maupun kepemimpinan.
“Jadi jangan heran ketika banyak produk perundang-undangan nasional pasca reformasi, justru undang-undang yang pro modal, karena pembuat UU-nya adalah pengusaha berbaju politisi dan ataupun berbaju partai politik,” jelas Wawan Leak yang juga pembina Dewan Warga Kota Surabaya ini.
Imam Mukhlas, aktivis reformasi 98 yang berasal dari Kab Bojonegoro ini menyoroti persoalan ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat. Menurutnya rendahnya kesempatan masyarakat bawah dalam menikmati kue pembangunan menyebabkan semakin tingginya ketimpangan sosial itu terjadi di masyarakat Indonesia.
“Program pengentasan kemiskinan yang merupakan trigger amanah reformasi 98 lalu, justru amburadul pelaksanaannya di banyak titik diseluruh Indonesia, banyak yang tidak tepat sasaran sehingga program ini yang seharusnya untuk mengurangi ketimpangan sosial malah menjadi “bancakan” atau rebutan para pemilik modal, hal itu dibuktikan dengan terjadinya korupsi di kementrian sosial pada era juliari batubara,” papar Imam Muklas yang juga Koordinator PIM Jawa Timur ini.
Yodhisman Surata, aktivis reformasi 98 dari Kota Bandung menjelaskan bahwa peringatan reformasi 98 bukanlah menjadi ritual mengenang proses gerakan mahasiswa era tersebut. Menurutnya generasi pemuda dan mahasiswa Indonesia di masa depan cukuplah membaca buku bunga rampai kritik otokritik gerakan reformasi 98 serta beberala literatur lainnya untuk proses mengenangnya.
“Tidak bisa sekedar mengenang, para aktivis reformasi 98 harus mulai sadar diri bahwa bangsa ini sedang tidak baik-baik saja atas banyaknya kegelisahan yang ada melalui forum ini, tapi saatnya para aktivis 98 membuka kembali ruang dialog, ruang diskusi pada generasi muda yang ada saat ini, sehingga meluruskan jalan reformasi 98 adalah merangkai kekuatan bersama di kantong kantong pusat kegelisahan rakyat saat ini,” papar Yodhisman yang juga Ketua Umum PIM.
Ardhian Soemadijo, aktivis Reformasi 98 dari Surabaya ini mengatakan bahwa tinggi sebenarnya harapan masyarakat saat ini agar terciptanya pemerintah yang bersih dari KKN dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2002. Namun, bahwa pada 17 Oktober 2019, pemerintah Joko Widodo mengubur harapan tersebut dengan ‘membonsai’ subsiansi kelembagaan KPK melalui Undang-undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
“KPK sebagai lembaga bentukan dari amanah reformasi justru dikebiri, belum lagi praktek makelar kasus hukum di banyak kelembagaan hukum yang tak pernah tuntas sampai saat ini, ini menjadikan banyak lembaga yang seharusnya berperan aktif demi kemajuan bangsa justru menjadi lembaga yang menghambat kemajuan bangsa itu sendiri,” papar Ardhian yang saat ini adalah Penghubung Komisi Yudisial.
Sebagai penutup rangkaian dialog aktivis lintas generasi, aven januar mengatakan, bahwa PIM Jawa Timur akan secara strategis akan menyelenggarakan diskusi dan dialog dengan mahasiswa di beberapa kampus dan juga diskusi di kampung-kampung. Agenda diskusi tersebut bukan semata untuk sekedar menyerap kegelisahan mahasiswa atau warga pada konteks kekinian tapi juga lebih jauh mengajak mahasiswa dan warga untuk berupaya menyuarakan agenda meluruskan jalan reformasi 98 ini secara bersama-sama.
“Dialog nantinya akan segera disusun sesuai jadwal, dan didukung beberapa pemantik dialog yang kompeten baik dari aktivis reformasi 98 sendiri maupun dukungan dari aktivis 80an, menuju Indonesia lebih baik, para aktivis wajib turun basis rakyat kembali, kembali ke basis atau reformasi 98 hanya akan jadi ritus peringatan tahunan semata!” tegas Aven Januar. (day/gus)