Oleh Arief Sosiawan
Pemimpin Redaksi
Gegara tiga twit Ahmad Dhani di @AHMADDHANIPRAST, “Yang menistakan agama si Ahok, yang diadili KH Ma’ruf Amin”, “Siapa saja mendukung penista agama adalah bajingan yang perlu diludahi mukanya”, dan “Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, penista agama jadi gubernur, kalian waras”, musisi dan politisi Partai Gerinda ini divonis majelis hakim PN Jakarta Selatan 1 tahun 6 bulan kurungan.
Jelas putusan itu sah. Jelas putusan itu sudah melalui banyak pertimbangan. Jelas pula putusan itu harus dijalankan, meski upaya banding dilakukan sosok yang juga calon legislatif 2019 dari daerah pilihan Surabaya-Sidoarjo ini.
Mereka yang seperti itu jumlahnya banyak. Mereka (mungkin) bersorak dan mengatakan,”biar kapok.”
Ada pula yang berpendapat putusan itu kurang pantas diberikan, karena dosa Ahmad Dhani yang tegas-tegas pendukung utama pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno dinilai terlalu besar terhadap negeri ini.
Ini tampak dari kenyataan bahwa putusan itu hanyalah salah satu perbuatan pemilik kepala plontos ini yang sudah diputus. Fakta lain menunjukkan bahwa pada 7 Februari 2019, pentolan grup band Dewa 19 ini akan disidang dalam kasus lain di Surabaya, Jawa Timur.
Bagi sebagian orang, putusan itu mengejutkan sekaligus memprihatinkan. Alasan kelompok ini, putusan itu dipaksakan akibat Ahmad Dhani datang dari kalangan oposisi. Kelompok lain berpendapat, Ahmad Dhani terlalu mengkritik pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dianggap gagal dalam menjalankan roda pemerintahan.
Jumlah mereka yang seperti itu juga banyak. (Mungkin) sebanding dengan jumlah yang setuju atas putusan itu. Atau bahkan lebih, barangkali. Alhasil, nama Ahmad Dhani kini makin melambung. Tidak malah meredup.
Buktinya, massa pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno justru menampakkan simpatinya dengan menyambangi Rutan Cipinang, Jakarta Timur. Hanya untuk menjenguk Ahmad Dhani!
Yang menimpa suami penyanyi Mulan Jamela ini sejatinya adalah hal biasa dalam perpolitikan. Sudah sering terjadi. Sudah bukan rahasia lagi. Banyak contoh yang bisa dilihat dari zaman ke zaman di negeri ini. Bahkan, yang lebih kasar dari kasus seperti ini juga ada. Irama permainan itu bergantung pada siapa yang berkuasa. Namanya penguasa, apa pun bisa dilakukan. Apa pun bisa diputuskan untuk menjaga dan melanggengkan kekuasaan.
Berbicara tentang kekuasaan dan negara, kita tidak akan merdeka jika tidak ada Soekarno-Hatta dan tokoh-tokoh pergerakan lain. Mereka juga mengalami hal yang sama. Masuk penjara karena melawan penguasa. Masuk penjara karena mengkritik pemerintah yang sedang berkuasa. Masuk penjara karena alasan memperjuangkan hak berpendapat, hak berbicara, dan hak-hak lain yang bersendi pada memperjuangkan nasib rakyat. Dan kita tahu, para pendahulu ini tidak cengeng. Tidak merengek. Mereka tabah menjalani takdir demi keyakinannya membebaskan negeri dari tirani.
Begitu pula ketika terjadi pergolakan politik negeri ini melawan PKI (Partai Komunis Indonesia), banyak tokoh pergerakan yang berjuang hingga harus membayar dengan nyawa. Mereka tidak pernah merengek. Mereka tidak cengeng mengeluh. Mereka menerima takdirnya.
Nah, kasus Ahmad Dhani ini terlalu kecil dibandingkan pergerakan tokoh politik dan tokoh pergerakan sebelumnya. Apalagi yang diperjuangkan ayah Al, El, dan Dul ini hanya pemilihan gubernur atau pemilihan presiden.
Ahmad Dhani harus tegar. Ahmad Dhani harus menegakkan kepala memperjuangkan keyakinan, meski (mungkin) harus menelan pil pahit dalam proses perjuangan itu. Kita masih koma. Belum titik! (*)