PON, Martabat dan Martabak

oleh -437 Dilihat

PON (Pekan Olahraga Nasional) XX Papua yang dibuka Presiden Republik Indonesia Joko Widodo Sabtu, 2 Oktober 2021, hingga kini masih berlangsung alot dan sengit.

Ribuan atlet tumplek-blek mempersembahkan dan menyuguhkan kualitas diri terbaik untuk mengejar predikat juara. Satu sama lain saling mengalahkan dan menghancurkan ambisi, meski tidak saling membenci.

Kondisi seperti itu tergambar sejak PON bergulir kali pertama di Kota Solo pada 1948. Nilai-nilai sportivitas tampak menjadi pegangan dan pedoman semua atlet yang berdatangan dari seluruh pelosok negeri hingga kini. Kendati begitu, tetap saja (dan selalu) ada percikan-percikan ketidakpuasan atas hasil pertandingan atau perlombaan atau pertarungan.

Nah, ketidakpuasan itu biasanya disulut oleh tindakan ketidakadilan wasit atau pengadil lapangan pertandingan. Tentu saja semua itu bersifat subjektif. Bagi wasit atau pengadil lapangan segala keputusannya sudah benar dan tepat. Bagi atlet yang kalah, tidak mesti demikian. Mereka menilai keputusan wasit berat sebelah atau tidak netral, dan atau lebih buruk lagi mereka malah menuding wasit disuap.

Hal seperti itu biasa terjadi pasca pertandingan beberapa cabang olahraga. Apalagi, cabang olahraga yang keikutsertaannya di arena PON diberi target perolehan medali emas, perak, dan perunggu dengan jumlah tertentu, oleh provinsinya, pasti segala cara dan upaya dilakukan.

Semua itu terjadi akibat faktor gengsi daerah. Boleh dibilang juga faktor politis bagi sang penguasa daerah alias gubernur. Tegasnya, kemenangan atlet di arena PON dapat dijadikan sebagai patokan sukses daerah (provinsi) sekaligus sukses gubernur. Secara politik otomatis meningkatkan pamor sang gubernur.

Kok begitu? Jawabannya pasti. Ini karena gelaran PON adalah simbol persaingan antarprovinsi. Tentu provinsi yang atletnya banyak merebut gelar juara, pasti perolehan medali menjadi tinggi dan menduduki peringkat terbaik di klasemen peraih medali. Itu artinya daerah atau provinsi itu unggul dibanding provinsi lain dengan sebutan sang juara!

Buntutnya, pasti sang gubernur mendapat pujian dari warga. Sang gubernur dinilai peduli olahraga, peduli pembinaan atlet. Tentu ini dapat mengangkat nama baik dan harkat serta martabat politis pribadi sang gubernur. Padahal semua tahu yang mempersiapkan dan melatih atlet atau pun kontingen adalah orang-orang olahraga yang semuanya di bawah koordinasi komite olahraga nasional Indonesia alias KONI.

Pun juga, semua orang tahu dalam keikutsertaan atlet di arena PON menggunakan dana APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah) bukan anggaran pribadi sang gubernur. Tegasnya, sukses atlet dan kontingen PON bukanlah sukses gubernur meski nama baik gubernur terbawa-bawa dalam catatan sejarah provinsi atau pun sejarah nasional.

Apalagi kalau gubernur berani menggelontorkan banyak dana APBD untuk bonus atlet dan kontingen PON, pasti nama sang gubernur harum bak bunga setaman.

Lepas dari itu semua, hasil akhirnya kembali kepada para atlet di lapangan: mereka mengejar martabat atau mengejar bonus untuk sekadar bisa beli martabak.(*)

No More Posts Available.

No more pages to load.