PPKM darurat kini merebak. Menjadi trending topic. Di mana-mana dibicarakan orang. Dari warung, pangkalan gojek, terminal, stasiun kereta api, stadion, balai RT (rukun tetangga), balai RW (rukun warga), tempat-tempat ibadah, hingga tempat-tempat umum lain seperti mal, pasar, rumah sakit, semua orang saur-manuk membicarakannya. Sangat panas! Dahsyat!
Kalimat PPKM darurat kali pertama disampaikan Presiden Indonesia Joko Widodo sebagai keputusan pemerintah menghadapi yang semakin parah. Virus corona atau Covid-19 membabi buta menyerang rakyat.
Keputusan itu bisa jadi membelah pandangan rakyat Indonesia. Ada yang setuju, tapi ada yang tidak setuju. Ada pula yang (sejujurnya) menolak meski tidak berani menyampaikan pendapat. Hanya menggerutu sambil memaki-maki tanpa jluntrungan.
Bagi yang setuju, mereka menyambut baik keputusan itu. Mereka happy. Suka tindakan tegas pemerintah yang dianggap tanggap dan peka terhadap ancaman virus mematikan itu. Menganggap pemerintah peduli dan melindungi rakyat hingga acungan jempol layak diberikan kepada pemerintah.
Bagi yang tidak setuju beda lagi. Menilai pemerintah mengada-ada. Pemerintah gagal melindungi rakyat akibat merebaknya kembali corona virus yang sejak setahun lalu sudah menjadi pandemi di negeri ini.
Tidak hanya itu, (mungkin) ada penilaian gagal dalam hal penanggulangan dan pencegahan ditujukan kepada pemerintah. Karena, setelah setahun menangani wabah dengan menghabiskan triliunan rupiah, virus tak kasat mata itu tidak segera hilang. Lenyap dari muka bumi Indonesia.
Tak cukup di sini, yang menolak tapi tidak berani menyampaikan, menilai keputusan pemberlakuan PPKM darurat menujukkan kekurangmampuan pemerintah secara cepat dan tepat menangani “serangan” virus corona yang konon telah bermutasi, antara lain menjadi corona varian delta.
Ironis, bisa saja pendapat itu ada. Sejak pertama virus muncul di negeri kolam susu, pergerakan rakyat dalam kehidupan sudah sangat terbatasi. Masih segar dalam ingatan, rakyat tidak bisa kemana-mana. Mau ke masjid tidak dapat. Mau ke tempat-tempat ibadah lain dibatasi. Ingin bekerja di kantor, diminta work from home (WFH). Sampai sekarang pun, murid-murid sekolah mulai sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, perguruan tinggi masih melakukan aktifitas secara daring (dalam jaringan) alias virtual. Terbatasi!
Perekonomian pun jatuh terpuruk. Pendapatan rakyat jadi banyak yang turun drastis, meski di antaranya juga ada yang justru mendapatkan berkah dari pandemi ini.
Nah, dari berbagai fakta ini, wajar PPKM darurat yang diberlakukan 3 Juli sampai 20 Juli 2021 jadi perbincangan rakyat secara luas. Karena, dari kepanjangan kalimat PPKM yang berbunyi; pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat, itu dianggap sangat memberatkan rakyat. Apalagi ada kata darurat, wow… diartikan semakin “menghantui” rakyat. Karena darurat bermakna genting.(*)