Pemberlakuan PPKM darurat sejak 3 Juli 2021 yang khusus untuk Pulau Jawa dan Bali akhirnya diperluas. Menteri Erlangga menyampaikan bahwa sejak 12 Juli atau Senin lusa aturan ini juga diberlakukan untuk 15 daerah lain, di antaranya Kota Tanjung Pinang, Singkawang, Padang Panjang, Balikpapan, Bandar Lampung, Pontianak, Manokwari, Sorong, Batam, Bontang, Bukittingi, Berau, Padang, Mataram, dan Kota Medan.
PPKM adalah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat.
Kalimat ini tegas: membatasi kegiatan masyarakat! Pastinya, program PPKM darurat yang selama ini didukung penuh oleh aparat keamanan memastikan sepasti-pastinya pergerakan masyarakat untuk sadar diri dan serius memerangi penyebaran corona virus atau akrab disebut Covid-19.
Tak ayal, di berbagai belahan wilayah, khususnya di Jawa dan Bali, sepekan terakhir terjadi penyekatan-penyekatan jalan. Akses-akses penting berbagai jalan di kota-kota dan kabupaten-kabupaten ditutup. Alhasil, pergerakan masyarakat yang notabene rakyat Indonesia benar-benar dibatasi.
Dalihnya, rakyat harus diam di rumah agar “perang” terhadap Covid-19 bisa menang. Tak perlu ke mana-mana, kalau tidak penting gak perlu berkerumun. Jaga kesehatan lebih penting daripada keluyuran. Imbauan untuk beribadah di rumah juga terus gencar didengar rakyat. Melalui berita-berita media mainstream atau media-media sosial, tiada hari tanpa informasi seperti itu.
PPKM darurat bukan satu-satunya program pemerintah untuk memerangi keganasan Covid-19. Sebelumnya, ada program yang digagas dan dijalankan pemerintah sejak satu tahun “serangan” virus mematikan itu bergentayangan di muka bumi ini, yakni kampung tangguh dan PPKM mikro.
Kedua program itu ketika dijalankan dikatakan hasilnya cukup ampuh menekan sebaran Covid-19. Secara nasional, tercatat banyak kawasan yang tadinya zona merah membaik menjadi oranye. Yang oranye jadi hijau. Tapi, karena virusnya berkembang cepat hingga “melahirkan” varian baru memaksa PPKM darurat diluncurkan.
Nah, muncul pertanyaan: kenapa kok ada PPKM darurat? Apalagi yang diperlakukan darurat (paling tidak sebelumnya) hanya Pulau Jawa dan Bali? Apakah Covid-19 yang sifat penularannya melalui udara tidak bisa “terbang” ke pulau lain selain Jawa dan Bali? Padahal, semua orang tahu Covid-19 menyerang ke seantero jagat raya.
Pun kenapa pelaksanaannya 3 Juli dan berakhir 20 Juli? Apakah karena alasan virus corona varian baru belum mampu dideteksi secara baik?
Tak salah jika pertanyaan-pertanyaan seperti itu muncul di benak rakyat. Sadar atau tidak, bahkan pelan tapi pasti, rakyat khususnya di Pulau Jawa dan Bali kini mampu merasakan apa yang terjadi akhir-akhir ini di negerinya. Merasakan baik dan tidaknya program PPKM darurat. Apalagi bagi rakyat yang akan merayakan Iduladha pada 20 Juli, hari raya untuk berkurban, yang diawali dengan salat berjemaah di lapangan atau masjid-masjid sesuai tuntunan keimanannya, merasa was-was tidak bisa melakukan dengan bebas meski mereka memastikan melaksanakannya dengan protokol kesehatan secara ketat karena takut terpapar Covid-19.(*)