Oleh : Arief Sosiawan
Pemimpin Redaksi
Kontestasi pemilihan presiden (pilpres) tinggal beberapa bulan. Tepatnya digelar 17 April 2019. Pada tanggal itu nasib negara kita, nasib bangsa kita, ke depan dipertaruhkan. Sebab, apa pun hasilnya, siapa pun presiden terpilih, akan menentukan arah kebijakan pemerintahan. Bahasa demokrasinya, hasil pilihan langsung rakyat tersebut sangat mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara lima tahun ke depan.
Pada 20 September 2018 ditetapkan ada dua kandidat. Pasangan Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin sebagai pasangan nomor 1 dan pasangan Prabowo Subiano-Sandiaga Salahudin Uno sebagai pasangan 2. Sejak itu kedua pasangan kandidat menyapa warga. Mengumbar janji dan menebar simpati untuk menarik simpati rakyat agar memilihnya.
Tapi, tidak begitu dengan tim sukses kedua pasangan. Mereka justru saling menyerang, Saling mencaci. Saling menyindir. Saling menjatuhkan dan mengunggulkan calon presidennya dengan dalih dinamika politik. Semua ini ditonton warga. Juga di ekspose besar-besaran di hampir semua media massa.
Namun, warga kini sudah pandai. Sudah pintar, Sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Sudah tahu mana pasangan calon presiden dan wakil presiden yang layak dipilih. Itu kata beberapa pakar dan pengamat politik yang ada di negeri ini.
Tapi, benarkah demikian? Benarkah dinamika pilpres tahun ini seperti yang terlihat dan tersaji di permukaan akibat propaganda media? Atau dinamika ini hanya sekadar sandiwara yang hasilnya sudah ditemukan?
Pertanyaan mendasar ini memunculkan pemikiran beberapa pengamat politik. Tapi, memang, sebagian rakyat ada yang tidak setuju dengan pandangan pakar atau pengamat politik.
Ada rakyat yang kritis. Ada rakyat yang sesungguhnya mengerti perpolitikan negara ini. Dari keputusan hanya ada dua pasangan yang ditetapkan sebagai calon presiden dan calon wakil presiden saja sudah memunculkan beragam analisis.
Termasuk fakta kenapa Prabowo Subianto yang akhirnya jadi penantang bagi petahana (baca: Joko Widodo)? Karena sudah jelas pada persaingan pilpres lima tahun sebelumnya, Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Hatta Rajasa sudah menelan kekalahan dari Joko Widodo-Jusuf Kalla. Logika akal sehat, seseorang yang sudah pernah kalah kok menantang lagi, ada apa?
Sejarah pun bisa dirujuk. Ketika Prabowo Subianto digandeng Megawati sebagai calon presiden saat menghadapi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Pilpres 2009, faktanya Prabowo yang waktu itu calon wakil presiden menelan kekalahan.
Sebaliknya bagi petahana Joko Widodo, majunya pada pilpres tahun ini juga bisa dianalisis. Pastinya seorang petahana akan berjuang untuk memimpin lagi. Pastinya seorang Joko Widodo tak akan mau menelan kekalahan, dengan siapa pun dia berpasangan. Sejuta alasan pasti akan dia lakukan dan tentu oleh partai politik pengusung dan pendukungnya agar dapat melanggengkan kekuasaan.
Nah, sebagai jawaban atas berbagai pemikiran itu, bagi rakyat yang kritis tentu akan ada yang berpikir keras dan bahkan menduga ada permainan politik elite yang memaksakan menampilkan Prabowo Subianto menjadi calon presiden—dengan siapa pun pasangannya untuk kalah.
Dengan kata lain, patut diduga memajukan Prabowo Subianto sebagai calon presiden tidak lain seperti menampilkan bumbung kosong pada pemilihan kepala pemerintahan tertinggi di negeri ini. (*)