Sepekan terakhir masyarakat ramai membicarakan persoalan politik seperti tergambar kuat di dunia media digital ataupun mainstream. Entah karena alasan sakral akibat 2022 mendekati tahun politik, tepatnya 2024, atau memang para pialang atau pelaku politik takut ketinggalan momentum. Yang pasti dan jelas, pada 2024 ada pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif sehingga suhu politik memanas di awal 2022 ini.
Memanasnya suhu politik itu tergambar dalam berita yang mencuat di permukaan terutama di media sosial yang begitu gencar dan masif. Mulai dari pelaporan tokoh-tokoh nasional seperti Basuki Tjahya Purnama alias Ahok, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Menteri BUMN Erick Tohir oleh Adhie Massardi (Poros Nasional Pemberantasan Korupsi) hingga pelaporan terhadap Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep, dua anak Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan alasan yang berbeda oleh Ubedilah Badrun, seorang dosen di Jakarta.
Yang terbaru cuapan Menteri Investasi RI Bahlil Lahadalia. Dibalut keterangan dari hasil diskusi dengan para pengusaha dan tanggapan hasil survei sebuah lembaga survei seperti pengakuan Bahlil, menteri itu mengutarakan periodesasi Presiden Joko Widodo diperpanjang hingga tahun 2027 dari 2024 jatuh tempo dari habisnya masa bakti pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Tentu rentetan berita itu mencuat punya alasan kuat. Tegasnya, berita semacam itu tak mungkin muncul begitu saja. Dibalik berita itu pasti ada banyak trik, ide, gagasan, atau agenda politik menyertainya. Tepatnya, tudingan terhadap kemunculan berita dan persoalan itu pasti ada yang menginisiasi, yakni partai politik (parpol)!
Nah pertanyaannya, parpol mana yang punya agenda seperti itu? Untuk apa parpol melakukannya? Untung ruginya apa? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang dapat dianalisa dalam persoalan-persoalan itu.
Menjawab berbagai tanya itu tidak mudah. Dikatakan satu partai saja yang memiliki kepentingan jelas tidak mungkin. Dibilang semua partai berkepentingan, itu lebih pantas. Why? Jawaban pastinya; kontestasi rebutan posisi presiden.
Uraiannya jelas. Menurut konstitusi, Presiden Joko Widodo tidak dapat dipilih kembali karena sudah dua kali menjabat presiden. Sehingga, semua parpol memiliki peluang yang sama dan berlomba mengincar kursi paling terhormat di negeri ini. Yakni kursi Presiden!
Jadi, laporan Adhie Massardi, laporan Ubedillah, dan cuapan Bahlil Lahadalia bisa memiliki keterhubungan yang erat hingga membuktikan opini; parpollah penguasa atau pemilik kursi presiden bukan siapa pun atau golongan manapun yang tidak memiliki partai. Terbukti, beberapa kali kelompok masyarakat berupaya mengunggat presidential threshold 0 persen tidak pernah menang dalam sidang Mahkamah Konstitusi.
Makin tegas pula, dari berbagai pelaporan itu menjadi sinyal atau tengara kuat atas kekalahan rakyat (lagi) dalam kontestasi pemilihan presiden 2024.(*)