Pledoi Kuasa Hukum Pratu RA: Pemidanaan Jangan Didasarkan Logika Awam, Tak Ada Bukti Terdakwa Harus Bebas

oleh
Letda Chk Fery Junaidi Wijaya SH., MH., kuasa hukum Pratu RA. Foto: Ist

SURABAYATERKINI.COM: Sidang dugaan perzinaan yang menjerat Pratu RA di Pengadilan Militer III-12 Surabaya kembali menjadi sorotan masyarakat.

Tim Penasihat Hukum terdakwa dari Kumdam V/Brawijaya, Letda Chk Fery Junaidi Wijaya, S.H., M.H., dan Lettu Chk La Mani, S.H., dalam pledoinya menegaskan, bahwa pemidanaan tidak boleh lahir dari logika awam atau asumsi belaka. Melainkan harus dibangun di atas alat bukti yang sah, valid, dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

“Hari ini kami meminta Majelis Hakim untuk memutus bebas klien kami, karena seluruh rangkaian persidangan menunjukkan bahwa tidak ada satu pun saksi mata yang melihat langsung perbuatan sebagaimana didakwakan. Pemidanaan tidak boleh digantungkan pada tafsir atau opini, melainkan harus berdasarkan bukti yang kuat dan meyakinkan,” ujar Letda Fery seusai sidang pada awak media, Kamis (4/9/2025).

Ia menegaskan, dalam hukum pidana dikenal asas in dubio pro reo—dalam keraguan, putusan harus berpihak pada terdakwa. “Jika Oditur hanya mendasarkan dakwaan pada asumsi dan tafsir percakapan pribadi tanpa bukti forensik dan tanpa saksi mata, maka itu bukan proses hukum, melainkan logika awam yang diformalkan. Ini berbahaya bagi keadilan,” ungkapnya.

Letda Chk Fery menyatakan, jika hukum harus berbasis bukti. “Pemidanaan jangan didasarkan pada logika awam, hukum harus berbasis bukti. Jika tidak ada saksi mata, tidak ada bukti forensik, dan alat bukti surat telah terbantahkan secara ilmiah, maka dimana letak perzinaan itu? Dalam kondisi seperti ini, terdakwa layak dibebaskan,” tegas Letda Chk Fery.

Ia menjelaskan, tidak ada satu pun saksi yang dihadirkan Oditur Militer yang mampu menerangkan secara langsung bahwa terdakwa melakukan persetubuhan, sebagaimana didakwakan. Menurutnya, perkara pidana harus dibuktikan dengan alat bukti yang relevan, signifikan, dan reliabel, bukan sekadar tafsir atau asumsi dari percakapan pribadi.

“Hukum tidak boleh berubah menjadi arena opini. Prinsipnya jelas, bukti yang sah baru bisa melahirkan putusan bersalah,” kata dia lagi.

Selain itu, ia juga menyinggung lemahnya konstruksi pembuktian oleh Oditur Militer. Menurutnya, alat bukti berupa surat menyurat yang diajukan telah gugur karena hasil uji grafologi membuktikan bahwa tulisan tersebut bukan milik pihak yang dituduhkan. “Bagaimana mungkin bukti yang secara ilmiah terbantahkan tetap dipakai untuk menjerat terdakwa? Itu sama saja membiarkan opini mengalahkan fakta,” terangnya.

Lebih lanjut, tim kuasa hukum Terdakwa juga menyoroti aspek prosedural. BAP yang dijadikan dasar dakwaan justru telah dicabut terdakwa karena diperoleh melalui tekanan fisik dan intimidasi. “Pengakuan yang lahir dari kekerasan tidak punya nilai hukum. Kami sudah sampaikan bukti adanya kekerasan itu ke Majelis Hakim. Jika masih dijadikan dasar pemidanaan, maka hukum kehilangan legitimasinya,” tambah Lettu La Mani, S.H.

Kuasa hukum Terdakwa menekankan bahwa unsur Pasal 284 KUHP yang menuduhkan “turut serta melakukan zina” juga tidak terbukti. “Bagaimana mungkin penyertaan bisa dipaksakan ketika pelaku utama perbuatan zina itu sendiri tidak pernah terbukti melakukannya? Unsur ini jelas-jelas cacat yuridis,” ungkap Letda Chk Fery.

Dalam pledoinya, tim kuasa hukum terdakwa menekankan, jika perkara tersebut seharusnya tidak pernah masuk ke ranah pemidanaan lantaran minimnya bukti. “Terdakwa masih muda, berdedikasi sebagai prajurit, dan tidak ada fakta hukum yang sah yang menunjukkan dirinya bersalah. Jika hukum ditegakkan dengan logika awam, maka setiap orang bisa menjadi korban. Karena itu, kami memohon putusan bebas bagi Pratu RA,” pungkas Fery.

Sementara itu, Oditur Militer III-11 Surabaya, Letkol Chk Yadi Mulyadi, S.H., menyatakan akan menyampaikan replik pada sidang berikutnya yang dijadwalkan Rabu, 11 September 2025. (red)