Negara ini ribut soal RUU HIP (Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila). Ribut seribut-ributnya. Riuh seriuh-riuhnya. Menggegerkan dunia perpolitikan kelas nasional hingga masyarakat awam sempat terseret dalam arus kebingungan dan kebimbangan.
Keributan ini, jika diibarat di kebun binatang, seluruh penghuninya mengeluarkan bunyi bunyian yang berbeda sesuai kekhasan bunyi aslinya. Yang burung mencuit. Yang harimau mengaum. Si monyet mengeluarkan mencicit. Sang ular mendesis. Dan lain sebagainya. Dan sebagainya. Terkesan semua ikut bersuara seolah kepentingannya sama, yaitu minta RUU itu diperhatikan!
Begitu ketika RUU HIP “dilemparkan” MPR RI (Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia), beragam tanggapan muncul sesuai misi dan visi kelompok masing-masing. Ada pro, ada yang menolak. Tegasnya, RUU HIP memicu keresahan dan kegusaran, serta kebingunan di ranah stakeholder yang ada di negeri ini.
Pandangan yang pro, RUU HIP bertujuan memperkuat ideologi bangsa Indonesia, yakni Pancasila. Gampangnya, RUU HIP merupakan pedoman bagi semua lapisan masyarakat dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara hingga dapat memperkuat ideologi dan kelembagaan.
Tak hanya itu, Pancasila adalah pedoman bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk penyelenggara negara, dalam menyusun dan menetapkan perencanaan serta evaluasi terhadap semua kebijakan.
Bagi yang menolak, mencuatnya RUU HIP dipandang seperti ada upaya keras kelompok tertentu ingin mengembalikan dan mengembangsuburkan lagi paham komunis di negeri ini.
Mereka beranggapan seperti itu, karena ada beberapa hal yang jadi sorotan tajam di RUU HIP akibat tidak mencantumkannya Tap MPRS Nomor 25/MPRS/1966 Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia (PKI). Alhasil, kondisi seperti itu dinilai sebagai bentuk pengabaian terhadap fakta sejarah memilukan yang pernah dilakukan PKI.
Mereka juga menganggap RUU HIP telah mendistorsi substansi dan makna nilai-nilai Pancasila, sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 yang dimaknai dan dipahami bahwa pembukaan UUD 1945 dan batang tubuhnya telah memadai sebagai tafsir dan penjabaran paling otoritatif dari Pancasila. Sehingga adanya tafsir baru dalam bentuk RUU HIP justru telah mendegradasi eksistensi Pancasila.
Ada juga penilaian RUU HIP memeras Pancasila menjadi Trisila lalu menjadi Ekasila yakni “Gotong Royong” justru nyata-nyata merupakan upaya pengaburan dan penyimpangan makna dari Pancasila itu sendiri, dan secara terselubung ingin melumpuhkan keberadaan Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa yang telah dikukuhkan dengan Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945, serta menyingkirkan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keributan ini akhirnya memaksa pemerintah menunda RUU HIP menjadi UU HIP. Namun, penundaan itu dipastikan tidak bisa menyelesaikan persoalan. Sebab, yang kontra tidak meminta ditunda, tapi ditolak. Tegas!
Nah, inilah jadi persoalan baru, karena bagi masyarakat yang menolak RUU HIP tidak ingin kembali ada lelucon (baca: sandiwara) RUU. dimana RUU HIP senasib UU KPK hingga UU Minerba yang awal kemunculannya ditentang keras masyarakat, kemudian ditunda oleh pemerintah, tapi hasil akhirnya diputuskan sebagai undang-undang.
Jadi, posisi RUU HIP kini antara pancingan dan tantangan. (*)
*Arief Sosiawan, Pemimpin Redaksi