Ujian untuk Cak Eri

oleh -234 Dilihat

Pekan ini bermunculan berita menarik. Dalam skala nasional ada penangkapan dua sosok pria dengan sangkaan penista agama. Muhamad Kace dan Ustaz Yahya Waloni. Keduanya bernasib sama. Sama-sama ditangkap Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.

Muhamad Kace disangka penistaan terhadap agama Islam, Yahya Waloni disangka penistaan agama Nasrani. Dalam skala reguler atau bahkan daerah (terkhusus dari Kota Surabaya), berita soal telantarnya nenek Sumirah akibat tidak mendapatkan bantuan sosial menghebohkan warga kota. Membuat wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengaku bersalah meski sempat marah-marah terhadap jajarannya.

Kedua pemberitaan ini menarik untuk dikupas. Kedua berita ini memiliki nilai strategis untuk diketahui publik. Ending-nya apa?

Penangkapan penista agama banyak dielukan publik. Publik merespons penangkapan Muhamad Kace dan Yahya Waloni itu selayaknya dan wajib dilakukan kepolisian, mengingat sama-sama melakukan pelanggaran hukum.

Terutama pada pelanggaran Undang-Undang ITE dengan pasal dugaan persangkaan ujaran kebencian berdasarkan SARA menurut Undang–Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hingga penistaan agama. Kace dipersangkakan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45a ayat (2) UU ITE atau Pasal 156a KUHP. Seirama dengan itu, Yahya Waloni juga terancam dengan pasal yang sama.

Terlantarnya nenek Sumirah pun demikian. Pengakuan bersalah Eri Cahyadi jadi blunder. Pengakuan bersalah tentu berdampak hukum. Apalagi terlantarnya nenek yang notabene lanjut usia (lansia) diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia.

Termaktub di dalamnya, tepatnya bab IX ketentuan pidana dan sanksi administrasi pasal 26 undang-undang menegaskan; “Setiap orang atau badan/atau organisasi atau lembaga yang dengan sengaja tidak melakukan pelayanan dalam rangka peningkatan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), padahal menurut hukum yang berlaku baginya ia wajib melakukan perbuatan tersebut, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”

Merujuk ini, tentu posisi Wali Kota Eri Cahyadi kini memiliki persoalan ancaman hukuman. Sosok Eri Cahyadi yang menduduki kursi wali kota belum genap setahun ini harus lebih banyak bersabar dan lebih pandai dalam menangani pelbagai persoalan kota. Apalagi persoalan yang ada “buntut” ancaman hukuman. Tak cukup hanya meminta maaf meski langkah ini pantas diacungi jempol.

Tegasnya, Eri Cahyadi ekstra harus berhati-hati meski dengan orang-orang dekatnya. Belum tentu orang dekat dengan dirinya sepemikiran dan sepaham dengan dirinya. Pun belum pasti pula jajaran atau stafnya mampu menjalankan kebijakan-kebijakan dirinya sebagai leader di kota berjuluk Kota Pahlawan ini. Dan UU Nomor 13/1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia bukanlah delik aduan, tentu aparat kepolisian dapat
langsung melakukan penindakan.

Tak hanya itu, Eri Cahyadi harus lebih terbuka dan lebih mendengarkan masukan-masukan tentang persoalan warga, atau bahkan Eri Cahyadi bekerja lebih keras lagi tidak sekedar turun ke bawah yang terkesan pencitraan belaka.

Nah, belitan hukum yang kini mengenai ketiga sosok pria ini, pasti semua mata kini fokus terhadap mereka. Akan seperti apa ending atau akhir ceritera mereka. Bebas demi hukum atau terseret pada jeruji hukum.(*)

Visited 1 times, 1 visit(s) today

No More Posts Available.

No more pages to load.