Oleh : Arief Sosiawan
Pemimpin Redaksi
Pasangan Eri Cahyadi-Armuji (Er-Ji) unggul perolehan suara. Pasangan Machfud Arifin-Mujiaman (MA-Ju) menggunggat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Itulah fakta kejadian pekan ini usai penghitungan suara pada pemilihan wali (pilwali) Kota Surabaya.
Wajar terjadi seperti ini. Tidak puas atas hasil sesuatu terus menggugat, itu hal biasa. Kata orang, itu cermin demokrasi. Tegasnya, muncul ketidakpuasan atas hasil perolehan suara dalam sebuah kontestasi tidak mengagetkan. Apalagi, ukurannya perebutan kursi wali kota.
Bagi pasangan Er-Ji, keunggulan itu pasti menyenangkan. Membahagiakan!
Begitu juga bagi tim sukses, partai pendukung, hingga warga pemilih Er-Ji. Mereka bersuka cita dan berusaha bersikap terhormat menyongsong kepemimpinan lima tahun ke depan bagi jagonya.
Tak hanya itu, keunggulan Er-Ji diartikan sebagai kemenangan absolut mereka hingga layak jagonya menjadi penerus wali kota Tri Rismaharini alias Bu Risma.
Mereka tidak sabar, keunggulan suara meski belum ada ketetapan resmi dari penyelenggara atau Komisi Pemilihan Umum (KPU), dianggap sudah menjadi kemenangan yang tak dapat diganggu gugat.
“Suara kemenangan” seperti itu terasa menggema di sudut-sudut kota. Mereka menggiring opini publik agar penyelenggara segera menetapkan jagonya sebagai pemenang.
Tidak bagi tim sukses, partai pendukung, dan warga pemilih MA-Ju. Mereka belum menyerah meski secara riil suara yang diperoleh jagonya berselisih enam persen dari jago lawan.
Perlawanan dikumandangkan. Perlawanan hingga titik darah penghabisan untuk memperkokoh status mereka sebagai pasangan yang siap mendulang kemenangan dilakukan. Apalagi ratusan miliar rupiah sudah habis digelontorkan untuk biaya politik, tentu kata kalah haram bagi pasangan MA-Ju.
Jadi, jurus menggugat ke MK tidaklah salah dilakukan. Justru jadi kata kunci perlawanan setelah mereka merasa ada pelanggaran fatal yang dilakukan psangan calon lawan.
Lantas efektifkah perlawanan Ma-Ju? Bisakah gugatan mereka mengubah hasil perolehan suara dan akhirnya membatalkan hasil pilwali Kota Surabaya?
Memperoleh pertanyaan seperti itu sekilas sulit mendapatkan jawaban. Sudah banyak kejadian serupa tapi hasilnya tetap saja tidak mengubah hasil apa pun.
Jadi teringat kala pemilihan presiden 2019 lalu. Meski pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menggugat setelah proses penghitungan suara berakhir, hasilnya tetap tidak mengubah pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai pemenang.
Dan soal ini, Machfud Arifin tahu betul ketidakefektifan gugatan ke MK. Sebab kala gugatan itu terjadi, dirinya menjadi “panglima” kemenangan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin di Jawa Timur.
Nah agar lebih elok dan elegan, apapun hasil penghitungan suara di pilwali Kota Surabaya seharusnya diterima dengan legowo sebagai proses demokrasi terbaik demi keutuhan warga kota berjuluk Pahlawan yang kini sudah mulai terlihat dapat menerima hasil pilwali.(*)