Hari ini, Jumat 22 Juli 2022, hari bahagia buat insan kejaksaan setelah 62 tahun institusi yang menaungi kerja para jaksa lahir di bumi nusantara. Meski begitu, akibat perkembangan zaman, era kelahiran tak sebanding dan sebaik era digitalisasi yang kini orang lebih suka menyebut era four point O alias 4.0.
Yang pasti perbedaan selalu ada di setiap era. Terutama pada kebijakan pimpinan institusi dan profesionalisme kinerja para jaksa dalam penegakan hukum. Artinya, institusi yang bertugas sebagai penuntut, penuduh, pendakwa, pengguggat, dan oditur ini bakal selalu memiliki tantangan di era era berikutnya.
Tegasnya, secara kelembagaan jaksa (kejaksaan) yang memiliki nama lain Adhyaksa, memiliki tugas utama menuntut dan mendakwa dengan pasal-pasal terhadap siapa pun yang diduga melakukan pelanggaran hukum.
Alhasil, kejaksaan sebagai salah satu lembaga yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, memiliki nilai strategis dalam kehidupan bernegara. Pun memiliki fungsi penting dalam kehidupan bersosialisasi antarrakyat hingga tatanan hidup semakin baik dengan saling menjaga kehormatan rakyat yang satu dengan yang lain.
Berdasarkan fakta ini, (tak salah) jika kini institusi kejaksaan memiliki program Restorative Justice yang dibelakukan berdasarkan Peraturan Jaksa Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Diharapkan, kehadiran program ini untuk mencapai keadilan di tengah masyarakat. Sehingga patut dibuatkan “satu” ruang atau tempat penyelesaian masalah dengan konsep perdamaian melalui musyawarah mufakat sebelum perkaranya masuk ke ranah penegak hukum.
Sayangnya aturan yang digunakan dalam program ini belum sepenuhnya “ramah hukum”, mengingat dilakukan hanya berdasarkan pendekatan nominal kerugian semata (kerugian di bawah Rp 2,5 juta yang dapat diproses, red) bukan nilai kriminalitas yang dilakukan pelaku kejahatan. Sehingga, muncul berbagai pertanyaan kritis terhadap program ini karena dinilai pilih-pilih kasus hukum.
Lantas kalau ada kejahatan pencurian dengan kerugian Rp 100 juta. Sejurus kemudian Rp 100 juta hasil pencurian itu dikembalikan kepada pemilik dari pencuri, apa bisa diselesaikan dengan program restorative justice?
Tentu jawaban pertanyaan ini perlu dipikirkan kembali akibat konsep restorative justice belum banyak masyarakat yang memahaminya, meski dalam contoh kasus pencurian Rp 100 juta itu pastinya tidak ada yang dirugikan.(*)