Arief Sosiawan
Pemimpin Redaksi
Hari ini, Sabtu, 9 Februari 2019, adalah Hari Pers Nasional. Tidak penting masyarakat tahu atau tidak bahwa puncak peringatan hari pers kali ini digelar di Surabaya.
Yang lebih penting makna hari pers harus dikedepankan. Apakah pers Indonesia sudah sesuai aturannya? Juga, sudahkah sesuai kode etik jurnalistik? Atau, apakah pers sudah jujur menyuarakan kepentingan umum dan sudah bertindak netral? Jangan-jangan masih ada pihak tertentu yang menunggangi demi kepentingan golongan tertentu!
Pada dekade perjuangan kemerdekaan, (mungkin) makna pers di negeri ini bisa dikatakan benar adanya seperti itu. Begitu pun saat negeri ini memasuki era pembangunan, makna pers kita masih terlihat memiliki jati diri kuat sebagai penyambung kepentingan rakyat.
Ketika era reformasi juga demikian, pers kita semua masih terlihat seperti masuk akal. Tegasnya, waktu itu pers kita tampak berakal sehat. Buktinya, di awal era reformasi media apa pun laku dijual, dan produknya selalu ditunggu masyarakat.
Kala era-era seperti itu, negeri ini masih memiliki banyak wartawan idealis. Wartawan tidak mudah dibeli kepentingan-kepentingan tertentu. Demikian pula berbagai perusahaan media. Hampir semua masih terlihat nyaman menekankan redaksi untuk menyuguhkan berita-berita yang bersandar pada idealisme demi kepentingan publik secara umum dan tidak berada di bawah kepentingan golongan tertentu.
Alhasil, semua yang ditulis atau disiarkan serta ditayangkan media selalu dianggap benar oleh masyarakat. Sehingga, masyarakat masih menemukan banyak wartawan idola yang menjadi panutan.
Tapi kini berbeda. Masyarakat bisa merasakannya. Di era globalisasi dan zaman digital seperti sekarang, media di negeri ini terlihat terjebak pada kepentingan-kepentingan tertentu.
Bahasa lain, di era 4.0 (baca: four point O), media di negeri ini sudah terlihat tidak mendahulukan kepentingan masyarakat luas. Idealisme media hanya untuk kepentingan golong tertentu.
Ditambah kemudahan regulasi di negeri ini, membuat masyarakat secara mudah mengakses internet. Akibatnya orang mudah menggunakan media sosial hingga tak lagi terbendung kemajuannya. Otomatis ancaman kemudahan ini pada dunia media sangat dirasakan oleh insan pers. Tapi apakah itu salah? Tentu jawabannya kembali ke orang pers. Maukah orang pers tetap menjaga akal sehatnya. Agar produk-produk pers tetap diminati dan tidak ditinggalkan masyarakat di tengah serbuan media sosial yang setiap waktu menggerus kepercayaan masyarakat terhadap media mainstream.
Selamat Hari Pers 2019.
Semoga pers di negeri ini mampu kenbali pada khittahnya. Entah kapan! (*)