Ada pepatah Jawa: _Urip iku sawang sinawang_. Makna harfiahnya adalah hidup itu saling memandang.
Maksudnya, seseorang merasakan kondisi hidupnya sebagai biasa saja atau bahkan buruk dan melihat kondisi hidup orang lain sebagai sesuatu yang menyenangkan. Padahal orang lain memandang hidup orang tersebut menyenangkan dan menjalani hidupnya sendiri sama sekali bukan kehidupan yang menyenangkan. Jadi, kebahagiaan seseorang adalah persepsi subjektif orang lain. Bukan kondisi objektif yang dijalani oleh seseorang. Inilah arti peribahasa jawa _urip iku sawang sinawang_.
Saat kita sibuk, kita membayangkan betapa nikmatnya hidup si pengangguran. Di saat yang sama, si pengangguran melihat betapa enaknya menjalani hidup dalam kesibukan. Orang dengan ketenaran membayangkan kedamaian ada pada orang-orang biasa. Begitu juga sebaliknya.
Seandainya kita diberi kehidupan seperti orang yang kita persepsi memiliki kebahagiaan, kita juga akan membayangkan memiliki hidup yang kita miliki saat ini, yang kita rasakan tak bahagia.
Sekalipun kita meyakini bahwa kehidupan kita sudah ditakdirkan Tuhan, tapi dalam menjalani kehidupan ini, kitalah yang memilihnya. Atau menerimanya secara sadar. Pilihan atau penerimaan atas hidup itu membuat kita harus menerima segala konsekuensinya.
Seingin apapun kita menjalani kehidupan dengan senyuman, faktanya dalam hidup itu ada tangisan. Saat kita bersedih, kenyataannya dalam hidup ada saat-saat kita menjalaninya dengan keriangan. Itulah kehidupan.
Kebahagiaan dan kesedihan tidak berada di harta dan derajat. Tuhan membagi kebahagiaan dan kesedihan pada semua orang. Tak peduli dia gelandangan atau pejabat atau konglomerat.
Yang diperlukan hanyalah menjalani kehidupan ini dengan ikhlas di setiap detiknya. Membuat kehidupan ini bermakna bagi diri sendiri dan memberi kebaikan pada sesama. Biarlah arus kehidupan membawa kita ke mana; Biarlah orang lain memandang kita seperti apa.[]