Oleh Arief Sosiawan
Pemimpin Redaksi
Lagi-lagi Dewan Pimpin Pusat Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (DPP PDI-P) memundurkan mengumumkan nama calon wali kota dan calon wakil wali Kota Surabaya dari jadwal yang semestinya, Jumat (28/8).
Padahal, tegas-tegas Ketua DPP PDI-P Puan Maharani menyampaikan sudah ada nama jago yang siap dikawal memenangkan “pertarungan” pemilihan wali kota di Kota Pahlawan.
Bukan kali pertama sikap seperti ini diperlihatkan DPP PDI-P. Perilaku menahan pengumuman nama jago sudah pernah dilakukan. Pertama, dijanjikan pengumunan pada 19 Agustus, yang ternyata dimundurkan 28 Agustus. Faktanya, pengumuman nama calon wali kota dan calon wakil wali Kota Surabaya kembali mundur.
Berpolitik model seperti ini sebenarnya hal biasa. Sikap ironis pun pernah dilakukan partai berlambang banteng moncong putih. Tempo hari, di daerah tertentu, nama calon yang sudah disiapkan bisa berganti ke orang lain secara mendadak. Karena itu, tidak heran bila sikap kader di Kota Surabaya gusar.
Tidakkah sikap seperti itu merugikan PDI-P dalam kontestasi di Surabaya? Akankah sikap seperti itu kontraproduktif bagi kader? Kubu lawan diuntungkan atau dirugikan atas sikap seperti itu?
Menjawab tiga pertanyaan ini, tentu opini kader makin berkembang. Ada yang memahami sikap itu sebagai taktik dan strategi jitu, tapi ada yang berpikir beda.
Bagi mereka yang memahami sebagai taktik dan strategi jitu, sikap ini dinilai mampu mengaburkan kekuatan riil PDI-P dalam kontestasi pemilihan wali (pilwali) Kota Surabaya. Bisa juga dianggap sebagai langkah kehati-hatian, mengingat 20 tahun terakhir Kota Surabaya dalam genggaman kekuasaan PDI-P.
Yang berpikir beda akan sulit menerima. Mereka menilai sebagai bentuk kepanikan partai mengingat calon lawan yang bakal dihadapi di kontestasi pilwali Kota Surabaya sudah siap segalanya. Siap dengan kekuatan yang dibangun cukup lama! (baca: Machfud Arifin yang didukung delapan partai).
Tak hanya itu, sikap DPP PDI-P mengolor pengumuman bisa diartikan langkah rugi bagi kader. Ibarat perang, peluru, strategi, dan taktik yang disiapkan “pasukan” (baca: kader) bisa jadi tidak meletus dan tidak jalan saat akan digunakan dan diterapkan. Karena sikap seperti itu sudah dibaca “pasukan” lawan.
Tegasnya, mengolor waktu mengumumkan jago bisa jadi malah menjauhkan nilai kepercayaan masyarakat pemilih Kota Surabaya karena PDI-P dianggap tak memiliki jago sekaliber wali Kota Risma meski kota ini memiliki pendukung militan.
Pun, bisa jadi bagi relawan calon lawan menilai kondisi seperti ini justru bakal mudah dimanfaatkan untuk mengacak-acak atau merusak kantong-kantong suara pemilih yang selama ini dikuasai PDI-P. Dan, sudah bukan rahasia lagi masyarakat pemilih di kota yang sebutan warganya bonek, masih mudah diiming-imingi sesuatu yang menguntungkan.
Apalagi, kini kondisi Kota Surabaya masih dalam masa pandemi Covid-19, dan bahkan mulai merebaknya penyakit demam berdarah dengue (DBD), sangatlah terbuka peluang bagi calon lawan PDI-P memetik keuntungan.
Jadi, dari dua pandangan itu sikap mengolor waktu mengumumkan jago di Surabaya yang diterapkan DPP PDI-P bisa dimaknai sebagai langkah kontraproduktif.
Bisa-bisa malah ada pengamat politik yang menilai PDI-P menggunakan jurus mabuk. Jurus oplosan. (*)