Oleh Arief Sosiawan
Pemimpin Redaksi
Partai Demokrat (PD) hancur. Kalimat ini pasti tidak enak didengar. Tegasnya, menyesakkan dada. Paling tidak bagi anggota atau simpatisan partai biru ini, pada dua bulan terakhir.
Tak dipungkiri, mau tidak mau, suka tidak suka, drama kisruh berujung kehancuran PD saat ini memunculkan kesan demokrasi di Indonesia sedang tercabik-cabik. Dan terancam. Minimal bagi mereka yang memahami demokrasi tidak harus dijalankan secara brutal.
Atau bagi mereka yang mengilhami demokrasi sebagai gentlemen’s agreement, kisruh PD yang dipicu lewat kongres luar biasa (KLB) di Deli Serdang, Sumatera Utara, menggariskan cerita buruk demokrasi negara ini.
Apalagi aksi kader partai berlambang Mercy itu (pengakuan mereka peserta KLB) memahami langkah KLB bernilai strategis dalam pengembangan demokrasi di Indonesia, kian menggiring opini tentang kebenaran arti demokrasi di negara ini, bebas sebebas-bebasnya berpendapat dan bertindak. Termasuk, boleh mencaplok partai orang lain.
Alhasil, kader lain (kader yang masih bernaung di bawah kepemimpin Agus Harimurti Yudhoyono—AHY) jantungnya langsung “copot” dan “mendidih” menilai KLB sebagai langkah abal-abal dan ilegal hingga membelah PD menjadi dua bagian kuat. Satu kubu AHY satu lagi kubu Moledoko (kubu KLB).
Inilah fakta kehancuran PD, partai yang pernah berjaya dan sempat menjadi partai penguasa di negara ini. Tegasnya, partai yang pernah mengantarkan sosok Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 10 tahun memimpin negeri kolam susu ini, kini terancam tinggal kenangan.
Terbukti, kedua kubu kini saling menyerang. Saling melaporkan ke aparat kepolisian. Saling mengumbar komentar membentuk opini yang berujung pada perebutan hak dan kepantasan kubu mana yang boleh menyandang status pemegang PD yang kini jadi pokok persoalan.
Bukti lain lebih tajam lagi, kedua kubu sama-sama berani mengklaim seakan kubunya yang berjalan sesuai perarturan hukum maupun peraturan keorganisasian yang diatur undang-undang.
Terlepas dari semua pertikaian itu, muncul tudingan kencang kehancuran partai yang dikenal luas dengan sebutan Partai Cikeas itu akibat campur tangan pemerintah yang kini dipimpin Presiden Joko Widodo.
Tudingan pemerintah sebagai dalang kehancuran sejujurnya tidak berlebihan. Ini karena faktor Moeldoko yang dipilih dalam KLB adalah seorang kepala staf kepresidenan (KSP).
Nah muncul pertanyaan, apa itu yang sebenarnya terjadi? Apa tidak sebaliknya, KLB sengaja digulirkan PD agar pamor Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) naik hingga mudah dijual pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024?
Atau, hiruk pikuk PD sengaja diciptakan “koalisi terselubung” untuk mengelabuhi publik agar lupa mengawasi kerja perwakilan rakyat yang (mungkin) sedang menyiapkan langkah mulus kepentingan Joko Widodo menjabat kembali presiden RI untuk periode ketiga?
Semua masih buram. Bahkan pekat. Yang pasti pengalaman menegaskan, penyelesaian urusan pertikaian partai politik memakan waktu panjang. Dan bisa jadi waktu perhelatan pilpres jatuh tempo pada 2024 pertikaian di PD belum juga kelar hingga banyak merugikan partai ini, dan malah menyisakan kemudahan bagi partai lain, terutama partai yang kini menjadi koalisi pemerintah.(*)