Oleh Arief Sosiawan
Belum lama ini Sugik Nur Raharja diamankan aparat kepolisian, lalu ditahan. Pria yang kerap dipanggil Gus Nur itu dilaporkan karena dianggap menghina Nahdlatul Ulama (NU) ketika menjadi tamu pakar hukum tata negara Refly Harun dalam sebuah wawancara.
Lontaran Gus Nur yang bernada kecewa itu berisi tentang perubahan NU. NU sekarang, menurut dia, berbeda jauh dari NU ketika didirikan. Hal ini dilontarkan dalam kalimat kritikan teramat sangat pedas sekali di konten youtube milik Refly Harun.
Tidak hanya itu, Gus Nur mengritik NU sekarang terlalu dekat pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sehingga tidak cukup memiliki kewibawaan. Akibatnya, keberadaannya mengecewakan nahdliyin seperti dirinya.
Penangkapan itu tidak mengagetkan khalayak. Terutama netizen. Sebab, selama ini tiada hari yang tidak dipakai Gus Nur untuk mengkritik pemerintah atau siapa pun pribadi, golongan, dan kelompok yang dianggap dekat pemerintah.
Dan ketika mengkritik NU, jika dilihat dari tayangan youtube secara utuh, Gus Nur sebenarnya mengkritik pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang dikatakan sebagai rezim. Hanya, Gus Nur terpeleset satu kalimat atau satu frame kata yang menghina NU. Itulah yang menyakitkan sebagian nahdliyin, yang lantas melaporkannya.
Ibarat singa, Gus Nur selalu mengaum. Banyak kritikan dilontarkan meledak-ledak, bergema, dan nyaring. Paling tidak, itu kata pendukung dan sebagian orang yang menyukainya. Tapi bagi “kutub” sebelah yang tidak suka, Gus Nur dikatakan manusia super bodoh, tukang fitnah, dan layak dipenjara.
Dua kutub yang kontradiktif ini meramaikan dunia maya maupun dunia nyata. Penangkapan Gus Nur direaksi banyak kalangan. Ada yang mengerucutkan kejadian ini sebagai proses pembungkaman orang-orang yang berpikir kritis dan berakal sehat.
Bagi sebagian lagi tidak demikian. Menurut mereka, kritikan itu idem ditto dengan fitnah atau hujatan. Dan lontaran-lontaran Gus Nur, baik di media sosial maupun saat mengisi ceramah-ceramah, dikategorikan sebagai fitnah dan hujatan meski Gus Nur sering menantang muhabalah bagi siapa pun yang menilai dirinya seperti itu.
Dari penangkapan Gus Nur kali ini muncul pertanyaan (karena sebelumnya pernah diperkarakan), apakah Gus Nur satu-satunya orang yang berani mengkritik pemerintah? Apa hanya Gus Nur yang berani mengkritik NU? Atau apa tidak ada sosok lain yang melakukan kesamaan dengan Gus Nur di tengah kondisi negara seperti sekarang? Kalau hanya Gus Nur yang dilaporkan ke polisi karena dianggap menghina NU, ini sangat aneh. Sebelumnya, Habib Taufik juga melontarkan kritik yang sama.
Tidak bisa dipungkiri, negara ini memang “kaya” sosok atau aktivis yang memiliki keberanian melontarkan kritik terhadap pemerintah atau kelompok atau golongan yang dekat dengan pemerintah. Masih berjajar sosok-sosok aktivis yang memiliki integritas tetap kritis terhadap pemerintah atau golongan, atau kelompok tertentu. Tegasnya, di negeri ini masih ada segudang tukang kritik.
Bisa jadi penangkapan Gus Nur yang kini mendekam di jeruji besi justru menambah semangat mereka aktivis lebih kritis menilai kebijakan-kebijakan pemerintah atau golongan atau kelompok tertentu.
Pepatah “mati satu tumbuh seribu” yang membakar semangat para pejuang bangsa hingga negara ini merdeka dan berdaulat sampai detik ini, pasti sangat bagus untuk ditiru aktivis zaman now dalam bersikap kritis terhadap pemerintah.(*)