Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membenarkan keterlibatan Kapolda Jatim (belum dilantik) Irjenpol Teddy Minahasa Putra dalam proses pengembangan kasus narkoba yang disidik Polda Metro Jaya.
Berita ini mengagetkan banyak pihak, terkhusus bagi masyarakat Jawa Timur, mengingat jenderal ini baru diangkat dengan surat keputusan berdasarkan Surat Telegram Rahasia (STR) Kapolri Nomor: ST/2134 IX/KEP/2022 tertanggal 10 Oktober lalu. Apalagi yang pertama kali mengungkap di media adalah kalangan Komisi III DPR RI yang tak lain dan tak bukan adalah mitra kerja Kepolisian RI. Alhasil berita itu menjadi sangat penting untuk ditelusuri dan dipercaya kebenarannya.
Tak cukup di sini, kebenaran penangkapan bak petir di siang bolong ini menjadi penting untuk dipertanyakan. Ada persoalan apa di internal kepolisian? Apa ada sentimen atau persaingan tidak sehat antarangkatan atau antar kelompok pejabat tinggi Polri, mengingat di institusi ini jabatan kapolri dikendalikan oleh sosok jenderal yang lebih junior dari beberapa senior anggota polisi aktif yang menjadi bawahannya?
Atau pertanyaan lain, apa ada pengaruh partai politik mengingat kerja kepolisian di negeri ini diawasi dan dikontrol oleh mitranya, yakni politisi Senayan?
Menunggu jawaban itu tidaklah terlalu penting. Yang pasti kinerja kepolisian sejak di bawah kendali Jenderal Listyo Sigit Prabowo (minimal) ada tiga kasus besar berdampak negatif alias mencoreng wajah kepolisian hingga penilaian dan kepercayaan masyarakat kepada kepolisian menjadi pupus.
Pertama kasus Sambo, hiruk pikuk kasus ini sempat mendegradasi kepolisian. Tegasnya publik marah dan tidak percaya polisi. Untung Kapolri Listyo Sigit bersikap tegas hingga pamor kepolisian menjadi sedikit “terobati” kebaikannya.
Tapi, belum pulih benar kepercayaan masyarakat, eh… kepolisian didera lagi kasus kematian ratusan suporter sepakbola di stadion Kanjuruhan Malang.
Kasus ini kembali menyeret keterpurukan kepolisian akibat aksi tembak gas air mata sampai berbuntut pencopotan Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat dan muncul surat keputusan penggantian Kapolda Jatim.
Ketiga, kasus penangkapan Irjenpol Teddy Minahasa, seakan menjadi “bom waktu” atas dugaan kebenaran adanya sentimen antar kelompok di internal kepolisian. Terbukti, kasus ini muncul di tengah opini publik sedang menguat atas alasan-alasan dua kasus yang terjadi sebelumnya hingga “muka” kepolisian tercoreng lagi.
Lantas apa hubungan penangkapan Irjenpol Teddy Mnahasa dengan dua kasus sebelumnya, terutama pada keputusan penggantian Kapolda Jawa Timur mengingat nama Kapolda Jawa Timur Irjenpol Nico Afinta sempat “dicatut” dalam kasus Sambo?
Selain itu, penangkapan Teddy Minahasa merupakan pengembangan kasus narkoba oleh Polda Metro Jaya yang pada kasus Sambo nama sang Kapolda Metro Jaya Irjenpol Fadil Imran juga “dicatut” sebagai sosok yang terlibat?
Dari rentetaan ketiga kasus ini tak berlebihan kalau masyarakat menilai kepolisian layak dievaluasi total. Mulai dari tingkatan tertinggi jabatan hingga terendah agar “muka” kepolisian kita menjadi bersinar lagi.
Atau sepertinya kepolisian kita perlu diruwat dan diganti nama saja. Seperti kebiasaan orang Jawa, kalau merasa “abot” dengan nama yang diberikan, maka orang tua akan mengganti nama sang anak.
Nah, kalau harus ini yang dilakukan negara tentu tidak ada masalah kalau nama Kepolisian Republik Indonesia (Polri) diganti. Entah apa namanya yang penting kinerjanya harus selalu baik dan menjadi pengayom rakyat.(*)