Minyak Goreng dan Ibu Kota Baru

oleh -361 Dilihat

Dua pekan terakhir, Indonesia disibukkan isu dan berita-berita kelangkaan minyak goreng dan penundaan pemilihan presiden (pilprres). Di dunia maya maupun nyata, dua soal itu banyak dibicarakan orang. Keras dan tajam suaranya.

Mulai di warung-warung kopi hingga di resto-resto tempat nongkrong, ruang-ruang terbuka umum, tempat-tempat ibadah, sampai tempat-tempat olahraga pun ramai membicarakan dua hal itu.
Kalangan muda, tua, sama-sama membicarakan. Mereka tak surut semangat melihat ketimpangan kelangkaan minyak goreng di tengah ramainya pemberitaan penundaan pemilihan presiden.

Di kalangan emak-emak juga tak kalah nyaring. Suara keras bernada kritik (bahkan ada di antara mereka lebih ke arah nyinyir) menilai kelangkaan minyak goreng menandakan ketidakmampuan negara mengendalikan mafia perdagangan. Apalagi kelangkaan minyak goreng muncul di tengah maraknya berita penundaan pemilihan presiden, kian nyaring “nyanyian” emak-emak negeri ini atas kondisi terkini.

Alhasil, mau tidak mau, suka atau tidak suka, dua soal ini menjadi pemicu keterbelahan rakyat. Soal minyak goreng misalnya, ada yang menganggap hal biasa karena sebelum-sebelumnya pernah terjadi. Sebagian lagi tidak. Mereka menganggap kelangkaan minyak goreng di pasaran akibat kekuasaan pemerintah dalam mengatur peredaran kalah “permainan” dengan mafia perdagangan yang dikendalikan kelompok tertentu yang banyak orang menyebut itu ulah oligarki.

Begitu pula soal penundaan pemilihan presiden, membuat rakyat terbelah. Apalagi kelompok pro penundaan yang dimotori partai politik seperti PAN (Partai Amanat Nasional), Golkar (Golongan Karya), dan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) terus mendesak dengan berbagai alasan.

Tak kalah hebatnya, kalangan kementerian juga ada yang mendukung penundaan presiden seperti kementerian maritim dan investasi. Dengan lantang, sang Menteri Luhut Binsar Panjaitan menegaskan dirinya memiliki atau mengantongi data dengan terus berkoar tentang big data menyuarakan penundaan pemilihan presiden, kian membuat keterbelahan nyata adanya. Ada yang pro pemerintah dan yang kontra bertindak seakan oposisi.

Yang pro dituding ingin mempertahankan posisi terbaiknya sebagai follower pemerintah (dan tentu pengikut Presiden Joko Widodo) hingga sederhananya mereka yang mendukung penundaan pemilihan presiden dinilai ikut menikmati penundaan hingga posisi dan jabatan yang disandang ikut diperpanjang. Lebih-lebih mereka yang memiliki “dosa” politik dipastikan berjibaku membela kepentingan penundaan untuk menghindari ancaman dan tekanan penguasa.

Yang kontra dituding sudah kebelet (bernapsu) untuk menjadi penguasa hingga apa pun yang direncanankan, diputuskan, dan dilakukan pemerintah atau penguasa selalu dianggap salah dan tidak benar.

Nah, kedua soal itu memiliki hubungan erat atau tidak? tidak penting-penting amat menjawabnya. Anggap saja itu riak-riak politik dalam negeri sebagai bagian pengalihan isu pemindahan ibu kota baru. Yang pasti terbukti di tatanan masyarakat terjadi pembelahan, di tatanan elite politik sibuk ngebut menyelesaikan perpindahan ibu kota baru kendati masih dipersoalkan banyak kalangan walau pun telah memiliki undang-undang yang sah.

Itulah gambar demokrasi Indonesia yang seakan tidak ingin mendapat tekanan dari pihak mana pun tapi terlihat tidak solid.(*)

 

 

 

 

Visited 1 times, 1 visit(s) today

No More Posts Available.

No more pages to load.